14 April 2009

Pendidikan Nasional Tak Berefek Emansipatoris

Kupang, Kompas - Sosiolog Ignas Kleden melihat pendidikan nasional selama Orde Baru hingga sekarang tidak berefek emansipatoris dan pembebasan. Pendidikan nasional malah cenderung menghasilkan manusia bersikap adaptis terhadap penyelewengan.

"Pendidikan nasional Indonesia tidak mendidik masyarakat agar mengambil sikap secara intelektual terhadap semua penyelewengan yang terjadi," kata Ignas ketika tampil sebagai penceramah pada Kongres Nasional XXIII dan Sidang XXII Majelis Permusyawaratan Anggota (MPA) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) di Kupang, Rabu (20/11).

Pimpinan Media Research Ignas Kleden & Associates itu menyebutkan sejumlah sebab kemerosotan pendidikan nasional. Di antaranya adalah apa yang disebutnya sebagai pendidikan bersifat instrumental, yakni suatu pendidikan yang tidak mendidik orang untuk menjadi manusia dewasa. Pendidikan semacam ini hanya menghasilkan manusia yang taat pada kepentingan kekuasaan.

Ia menunjuk contoh sistem ujian pilihan ganda. Katanya, "Dalam ujian seperti itu sama sekali tidak mendidik orang untuk berpikir bebas. Kebebasan berpikir hanya dibatasi dalam tiga atau empat kemungkinan pilihan jawaban yang disodorkan. Anda tidak bisa mengusahakan penalaran sendiri untuk mencari jawaban selain empat butir yang disiapkan sebagai kemungkinan jawaban."

Ignas lebih jauh memaparkan, kiprah mahasiswa Indonesia dalam sejarahnya tidak terlepas dari perjuangan politik. Sejarah Indonesia sudah menciptakan semacam hubungan historis yang menyebabkan mahasiswa Indonesia selalu, atau satu dan lain cara, terlibat secara aktif dalam perjuangan politik.

Sejak dulu, mahasiswa Indonesia dalam perjuangannya selain mempelajari pokok-pokok studi, mereka juga harus berupaya membebaskan bangsanya dari penjajahan. Ini tugas yang paling berat. Tidak mengherankan bila banyak di antara mereka yang akhirnya memilih untuk berjuang di dalam gerakan-gerakan politik daripada meneruskan kuliah. Bung Hatta sendiri memerlukan waktu 11 tahun untuk mencapai gelar doktorandusnya. Ini merupakan waktu yang dua kali lebih dari waktu yang biasa.

Karena itu, lanjut Ignas, usaha menormalisasikan kampus, seperti dilakukan Daud Joesoef tahun 1970-an, adalah usaha yang bertentangan dengan watak historis dari gerakan mahasiswa. Meski begitu, keterlibatan mahasiswa dalam perjuangan politik sejak dulu hingga sekarang tetap sama. Andalannya adalah kekuatan intelektual, kekuatan pikiran, kekuatan berargumentasi dan kekuatan bernalar dengan konsep-konsep dan data yang mereka kuasai.

Reformasi pendidikan

Bagaimana kedudukan mahasiswa sejak reformasi? Tidak dapat dimungkiri bahwa peranan mahasiswa dalam meluncurkan reformasi adalah suatu peranan sejarah yang tak dapat disangkal. Namun, menurut Ignas, reformasi telah melupakan satu hal yang sangat penting, yaitu tidak melakukan reformasi pendidikan.

Ignas mengingatkan bahwa slogan pendidikan menciptakan manusia siap pakai sebenarnya hanya slogan semu. Tidak ada pendidikan di dunia ini yang menjadikan orang siap pakai. Alasannya, karena industri berkembang selalu lebih cepat dari sekolah. Alasan lain, perkembangan masyarakat dan kebudayaan juga selalu lebih cepat dari sekolah.

"Jadi, yang diperlukan adalah orang yang siap belajar, bukan orang yang siap pakai. Kita jangan terbuai dengan slogan mendidik manusia siap pakai. Yang dibutuhkan adalah mendidik orang yang secara bertahap dewasa secara individu: bisa berpikir sendiri, mempertimbangkan sendiri, bertindak sendiri, dan bertanggungjawab sendiri terhadap apa yang dilakukannya," kata Ignas.

Untuk itu, ia mengusulkan PMKRI agar mendorong dilakukannya reformasi pendidikan untuk 5-10 tahun mendatang. Tema itu supaya digarap secara terus-menerus dan konsisten dari tahun ke tahun. Bahkan, kalau dimungkinkan, reformasi pendidikan itu menjadi tema jangka panjang PMKRI.

Menurut Ignas, tema ini sangat strategis, terutama karena belum mendapat perhatian yang cukup dari kelompok lain. Tema ini juga relevan untuk lingkungan PMKRI sendiri. Prioritas reformasi itu harus dimulai dari bawah, yakni sekolah dasar (SD). "Kita hanya bisa berbicara reformasi pendidikan kalau pendidikan dasarnya diperbaiki dan diperkokoh," ujarnya. (ans)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar